Senin, 29 September 2014

Hubungan Media dan Masyarakat


Masalah-masalah Sosial dan Media Massa

Para akademisi dan praktisi meramalkan bahwa bahwa media massa akan mengalami perubahan secara drastic baik sifat, peran, maupun jenisnya. Hal ini disebabkan karena perubahan sosial yang begitu cepat dan tuntutan-tuntutan pemilik modal yang begitu kuat sehingga siapa pun yang telah memilih bekerja di media massa akan memiliki visi yang sama, yaitu “menyelamatkan diri” dengan menyelamatkan medianya dari kebangkrutan atau dari larinya pemilik modal.
            Ini berarti secara tidak langsung media massa tidak lagi menjalankan fungsi utamanya dan juga telah merubah visi dan misi media massa. Kalau secara teori media massa adalah institusi yang berfungsi memberi informasi, edukasi dan hiburan maka dikhawatirkan pada masa yang akan datang fungsinya berubah dengan memberi informasi yang tidak edukatif dan hiburan yang tidak edukatif pula. Dengan kata lain, media massa memiliki sisi gelap di mata masyarakat. saat ini, media massa distigmakan sebagai lembaga penghasut, pencetus kerusuhan, pencetus masalah sosial dan sebagainya.
            Media massa saat ini dianggap miskin dari fungsi edukasi nilai-nilai kemanusiaan, media massa justru menjadi corong provokasi nilai-nilai kehewanan, seperti materialistis, mistisme, hedonisme, seks, konsumerisme, kekerasan, sekularisme, mistisme, dan semacamnya yang dimana semua itu telah menjadi masalah-masalah sosial dalam masyarakat saat ini.
Berikut dibawah ini masalah masalah yang terjadi pada media massa :
          1.     Kekerasan perempuan di Media Massa
·         Citra Kekerasan Perempuan
Keindahan perempuan dan kekaguman lelaki terhadap perempuan adalah cerita klasik dalam sejarah umat manusia. Dua hal itu pula menjadi dominan dalam inspirasi banyak pekerja seni dari masa ke masa. Eksploitasi perempuan dalam pencitraan media massa tidak saja karena kerelaan perempuan,namun juga karena kebutuhan kelas sosial itu sendiri. Sayangnya kehadiran perempuan dalam kelas sosial itu masih menjadi dari refleksi realitas sosial masyarakatnya bahwa perempuan selalu menjadi subordinat kebudayaan laki-laki.
·         Kekuasaan Laki-laki Atas Perempuan
Dari sisi pemaknaan, pemberitaan media massa juga tidak seimbang antara pemaknaan ruang publik laki-laki dan ruang piblik perempuan. Ketika pemberitaan media massa menyangkut persoalan laki-laki, maka media massa menyorotinya sebagai pahlawan karena masyarakat membutuhkan mereka. Namun ketika sorotan media massa pada persoalan perempuan, terkesan maknanya sebagai pelengkap pemberitaan pada hari itu. Persoalan menjadi serius ketika pmberitaan media massa menyangkut sisi-sisi aurat perempuan makna pemberitaannya justru menjadi konsumsi laki-laki, maka disitu terkesan bahwa perempuan sedang dieksploitasi sebagai sikap ketidakadilan terhadap perempuan dan bahkan kekerasan terhadap mereka. 

2.     Kekerasan dan sadism
Kekerasan media massa bisa muncul secara fisik maupun verbal bagi media televisi, dari kekerasan dengan katat-kata kasar sampai dengan siaran-siaran rekonstruksi kekerasan yang dapat ditonton di televisi. Bentuk kekerasan dan sadism media massa dengan modus yang sama di semua media lebih banyak menonjolkan kengerian dan keseraman di mana tujuan pemberitaan itu sendiri.
            Kejahatan di media massa terdiri dari beberapa macam, seperti
(1) kekerasan terhadap diri sendiri, seperti bunuh diri,
(2) kekerasan kepada orang lain, seperti menganiaya orang lain,
(3) kekerasan kolektif, seperti perkelahian missal,
(4) kekerasan dengan skala yang lebih besar, seperti peperangan dan terorisme.
     3.  Pembunuhan Karakter
Pembunuhan karakter adalah juga kekerasan terhadap orang lain, karena tidak seorang pun berhak menghalangi seseorang untuk berkarya mengekspresikan diri dan mengembangkan karakternya di masyarakat. Bagi media massa yang menggunakan paradigm war journalism pembunuhan karakter ini adalah model produksi jurnalisnya, tanpa memandang apa pun akibat dari pemberitaannya bagi semua pihak.

KESIMPULAN
Saya berpendapat bahwa media sangatlah bewrpengaruh bagi masyarakat. Karena dari medialah masyarakat mendapatkan informasi. Jadi bila media selalu menampilkan informasi yang tidak berbobot maka hubungannya dengan masyarakat sangat kuat yang akhirnya masyarakat pun mempunyai pemikiran yang tidak berbobot pula. Jadi pada dasarnya mulailah media masuk dalam arti media massa yang sebenarnya yaitu institusi yang berfungsi memberi informasi, edukasi dan hiburan. Berilah informasi yang berbobot yang bisa menambah pengetahuan masyarakat. Berilah hiburan hiburan yang menarik dan yang masuk akal. Janganlah menjadi media yang hanya menginginkan mendapatkan rating tinggi tapi tidak mengedepankan informasi yang bermutu dan satu lagi yang paling penting adalah banyak belajarlah dari pengalaman.

Hubungan Media dan Penguasa/Pemerintah


MEDIA MASSA DAN SISTEM PEMERINTAHAN

·        Pola Hubungan Media Massa dan Pemerintah

Berbicara tentang hubungan Pemerintah dan media tidak bisa dilepaskan dari sistem pers  yang dianut dalam suatu negara. Pengertiannya ialah bahwa sistem pers  yang dianut dalam suatu negara merupakan bagian  atau susbsistem dari sistem komunikasi. Sedangkan sistem komunikasi itu sendiri merupakan bagian  suatu sistem sosial dan politik . Oleh karena itu untuk mengetahui hubungan pemerintah dan media kita tidak bisa lepas dari bentuk sistem sosial dan bentuk pemerintahan suatu negara dimana sistem pers itu berada dan berfungsi. (Rahmadi: 1990: 29)
Sistem adalah seperangkat atau kesatuan objek, yang mana satu objek dengan objek yang lain saling berkaitan, bahkan saling bergantung (Littlejhon 1989 : 35). Sistem sosial Indonesia terdiri dari beberapa subsistem seperti subsistem ideologi, politik, ekonomi, budaya, komunikasi, pertahanan, dan keamanan. Subsistem satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi, namun subsistem ideologi dan politiklah yang paling mempengaruhi subsistem yang lainnya termasuk subsistem media massa. Dengan demikian, sistem media massa mencerminkan falsafah dan sistem politik negara dimana dia berfungsi.
Apabila kita menempatkan pers ke dalam kedudukannya sebagai pelaku dan kekuatan sosial politik masyarakat  yang berhadapan dengan kekuatan politik negara, maka orientasi ini media dilihat dalam kerangka posisi politik terhadap negara. Dalam arti posisi politiknya kuat atau lemah terhadap kekuasaan negara. Ukuran yang dipakai untuk menilai kuat lemahnya posisi pers adalah sejauh manakah pers mempunyai peran/pengaruh dalam pembentukan kebijakan politik.

   Terdapat dua proposisi yang dapat dilihat disini. Pertama,  Apabila kedudukan politik negara dominan/kuat, maka pers berserta kekuatan-kekuatan politik non negara yang lainnya menjadi sub-ordinan/lemah dalam pembentukan kebijakan politik. Artinya posisi politik pers lemah. Kedua,  apabila kedudukan politik masyarakat, termasuk pers, dominan/kuat dalam pembentukan kebijakan politik tertentu, maka negara menjadi “sub-ordinan”/”lemah”. Artinya poisisi politik pers kuat.
Media massa sering disebut sebagai kekuasaan keempat dalam pemerintahan setelah eksekutig, legislatif, dan yudikatif. Istilah itu menunjukkan bahwa media massa adalah sebagai alat pengawas pemerintah (watch dog)
Pandangan Ithel De Sola Pool tentang hubungan pemerintah dan media sangat diametral dalam posisi yang saling berhadap-hadapan. Sola Pool dengan nada provokatif mengandaikan hubungan pemerintah dengan media layaknya sebagai musuh (adversary relationship). Pemerintah disebut sebagai St. George (orang suci) sedangkan media dijuluki  sang naga (dragon).
Jargon ini sangat diyakini ada di antara para wartawan di Washinton DC. Mereka melihat dirinya sendiri ada dalam suasana perang di dalam mempertahankan kepentingan orang banyak atas perlakuan para politisi yang hanya berbicara atas kepentingannya sendiri.

 Menurut Dan Nimmo media memiliki lima fungsi yaitu:
1.      Collection and presentation of objective information, disini media bertindak mengumpulkan fakta dari peristiwa yang terjadi di sekelilingnya dan menyajikannya ke publik. Tetapi yang penting ditekankan bahwa dalam melakukan fungsi tersebut wartawan hendaknya bersikap impartiality dan sedikit mungkin bias
2.      To interpret the news,  disini media berperan sebagai interpreter terhadap suatu peristiwa yang diliputnya. Ia menjelaskan ke publik menyebab dan implikasi dari peritiwa itu sehingga publik yang tidak terbiasa dengan cara bekerjanya pemerintah dapat memahami tentang relevansi fakta yang mereka baca. Sebagian pakar menerima fungsi interpretasi mirip konsep advocacy journalism. Advocacy adalah suatu bentuk interpretasi yang di dalamnya mampu menjelaskan arti suatu fakta (interpretation) terhadap sudut pandang tertentu.
3.      Responsibility of the press in a democracy, artinya memberi tugas kepada media massa agar lebih representative atau mewakili publik di dalam melawan pemerintah
4.      Responsibility, di sini media dituntut bertanggung jawab untuk menentukan opini public dan to inform the public & the government tentang iklim suatu informasi (the climate of opinion). Fungsi keempat ini dianggap sebagai fungsi yang khusus dari media massa yang mampu menciptakan apa yang disebut a mass society.
5.      Partsisipant, artinya bagaimana reporter melihat dirinya sendiri sebagai partisipan di dalam proses pemerintahan.

 Dan Nimmo (1993) selanjutnya mengatakan bahwa wartawan tidak mengumpulkan berita seperti anak memetik bunga dipadang rumput. Berita politik adalah kreasi gabungan antara jurnalis yang merakit serta melaporkan berita dan komunikator politik (politikus dan jurubicara) yang mempromosikannya.
Selanjutnya wartawan berkerja selalu berlandaskan pada nilai berita, news peg dan kesanggupan memperoleh informasi dari sumber berita. Dan Nimmo (1993:228) mengatakan bahwa sumber berita dalam elit politik meliputi:
1.      Pejabat yang dipilih dan ditunjuk dalam posisi pembuat kebijakan, yaitu pejabat kebijakan seperti presiden, kabinet dan kepala jawatan  serta bawahan mereka, anggota kongres dan pembantu mereka, pejabat yudikatif dan sebagainya.
2.      Pejabat yang ditunjuk khusus untuk menangani pers, baik yang tunjuk dari partai politik maupun pejabat penerangan degan berbagai label seperti sekretaris pers, pejabat penerangan publik, agen pers, personel hubungan masyarakat dsb
3.      Juru bicara kepentingan yang termasuk lobbyist, pemimpin kelompok kepentingan umum, eksekutif koorporasi, ketua dan pejabat partai politik utama.